Lokasi pembangunan Pusat Pemerintahan (Puspem) Kabupaten Tana Tidung (KTT), Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara).
TeropongKALTARA.com, KTT – Sebagian warga yang lahannya “termakan” pembangunan Pusat Pemerintahan (Puspem) Kabupaten Tana Tidung (KTT), Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), menduga ada spekulasi permainan yang dilakukan oknum dalam pembayaran santunan.
“Kisruh. Banyak merugikan warga terdampak pembangunan Puspem KTT, yang mana pembayaran berupa santunan ternyata ada warga yang mendapat milyaran dan ada juga warga menerima 40 ribu rupiah dan 120 ribu rupiah perhektarnya,” ungkap Abib, salah seorang warga KTT menceritakan yang tampak sedih.
Dia bingung, harus kemana lagi dia dan warga lainnya mengadu, kalau Pemerintah Daerah (Pemda) setempat bertekat membangun Puspem dengan mengambil resiko berbenturan dengan pembebasan lahan yang bermasalah.
Sepertinya ada permainan antara dinas terkait dengan oknum warga yang menerima milyaran rupiah,” dugaan Abib dan warga lainnya.
Menurut warga yang belum menyetujui dengan pembayaran, menyebutkan ada lebih kurang 35 orang/warga yang tidak belum menandatangani kwitansi pembayaran, karena dinilai tidak sesuai dengan hak mereka.
“Kurang lebih 405 hektar warga terdampak atau 238 orang di situ yang ada perbedaan. Kami tahu persis tanam tumbuh warga di situ. Diduga sepertinya ada permainan antara pemilik lahan dengan orang dalam. Makanya harga tanam tumbuh mereka sampai milyaran,” ujar Abib lagi.
Anehnya, menurut abib, pembayaran dilakukan penghitungan tim independen, Tim Appraisal.
“Saat penandatangan, kami minta rincian pembayaran, mereka tidak mau perlihatkan,“ katanya.
Sementara itu, Ketua Tim Pengendalian Terpadu (Timdu) Puspem Tana Tidung Said Agil, menjelaskan, sedang proses 238 kalau tidak salah ada perubahan data. Luas tanah tetap, yang bertambah ada perubahan data itu data 240 atau 260 data terakhir.
Menurut Agil, yang juga Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten KTT, ada yang belum terima pembayaran. Alasannya, tidak sesuai dan ada beberapa persoalan.
Menurut mereka, katanya, harganya belum masuk. Kedua adanya tidak sesuai, tidak memiliki tanam tumbuh. Ketiga, kadang-kadang ada yang membanding- bandingkan.
“Misalnya, tanahnya 2 hektar, tapi terima cuma terima 5 ribu rupiah. Ada yang 1 hektar, terimanya 15 ribu rupiah. Itu yang menjadi pertanyaan mereka,” jelas Agil.
Kalau yang tidak sesuai dan kalau yang belum terbayar, sambungnya, memang karena dia masuk dan nanti mungkin Dinas Perkerjaan Umum (DPU) yang masih menyiapkannya.
“Mudah -mudahan nanti di bulan dua (Februari) bisa. Kalau bisa, saya minta di bulan 1 (Januarai) ini dimulai pembayaran tahap 2 dengan anggaran yang kemarin dari 26 miliar. Kalau tidak salah berubah hampir 30 sudah. Karena perubahan-perubahan itu ada kaitannya dengan yang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dengan PT. Adindo.
Mereka tidak terima itu, jelasnya, ada 35 orang. Itu persoalan itu. Jadi, yang jelasnya dalam pembebasan lahan ini yang dibayar adalah tanam tumbuh, bukan tanah. Makanya untuk yang tidak menandatangani belum menerima.
“Harga mungkin terlalu kecil dengan tanahnya. Mereka berasumsi, tanah itu dibayar. Nah, itu tidak ketemu. Karena yang dibayar persoalan santunan sosial itu adalah tanam tumbuh. Jadi, fokusnya hanya ke tanam tumbuh,” jelasnya.
Nah, lanjutnya, tanah sampai hari ini saya masih koordinasi dengan kejaksaan, pengadilan maupun Tim appraisal.
“Belum ada solusinya. Karena tidak mungkin membayar tanah negara, tapi belum ada solusinya. Kecuali ada kebijakan lain. Kami juga tidak berani, karena tidak ada aturan yang mengatur,” papar Agil.
Tanah milik negara, jelasnya, tanah yang tadinya konsensi hutan industri milik PT Adindo, sekarang sudah dihibahkan ke Pemda KTT, cuma didalam ada kebun masyarakat dan lainnya
Untuk tanah itu, pihaknya sudah minta rekomendasi kepada pengadilan yang sampai hari ini rekomendasinya dari kejaksaan atau pengadilan tidak mengijinkan untuk pembayaran tanah.
Said Agil mengakui, anggran uang santunan sosial tahap satu 17 miliar sudah tersalurkan. Tahun anggaran 2024 tahap dua 13 miliar.
Diceritakan, ada yang 1 hektar itu betul-betul kebun dan sedangkan yang 2 hektar hanya tanah kosong.
“Nah, itulah karena yang dibayar tanam tumbuhnya, maka nilai tanah tidak ada nilainya.
“Dari kemarin rekomendasi kejaksaan kita minta sama Tim Appraisal itu ada aturan yang mengatur. Ada uang penggarapan, tapi kecil. 1 hektar hanya dihargai 2 juta. Kami juga tidak bisa apa-apa, karena perhitungan yang dilakukan ini adalah Tim Appraisal. Kami tidak bisa ikut campur, mulai dari jenis tanaman berapa harganya. Kami tidak pernah tahu, karena yang menentukan itu adalah Tim Appraisal,” paparnya.
Dijelaskan, hanya dibantu PU menyiapkan data. Misalnya, kebun dicek dengan masyarakatnya ditandatangani jumlah pohon-pohonnya. Mereka sepakat dikasih ke Tim Appraisal. Tim appraisal yang menghitung,pihaknya hanya menerima hasil.
Makanya, terangnya, kalau nilainya berubah, itu biasanya dipengaruhi oleh jumlah tanam tumbuhnya. Jadi, kalau yang menerima bermiliar atau ratusan juta, memang tanam tumbuhnya besar.
Ada sawit ada pohon gaharu. Kalau rumah malah lebih besar, karena hitungan rumah. Informasi dari Tim Appraisal, itu dia hitungan baru, penyusutan tidak diperhitungkan.
Sebenarnya, yang tidak terima, menurut Agil, belum tahu karena sebelumnya ada banyak juga yang awalnya tidak terima, karena harganya tidak masuk, tapi setelah tim Satgas dari Dinas PU membuka data harga pergantian satu pohon, akhirnya warga terima.
“Mereka yang tidak terima ini biasanya tanam tumbuhnya tidak ada. Itu sampai hari ini, saya sampaikan dengan mereka tapi belum punya solusi, karena belum dapat legal opini dari kejaksaan,” katanya.
Selain itu, tambah Agil, luas lahan Puspem 405 hektar dari 238 orang pemilik lahan, ternyata setelah dilakukan pembaharuan data ada perubahan data atau penambahan, tapi tidak merubah keluasan.*
Wartawan : Selamat AL
Editor : Surya
Terkait
Eksplorasi konten lain dari Teropong Kaltara
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.