Ketua DPRD Alberthhus Jelaskan Terbentuknya Provinsi Kaltara

TeropongKALTARA.com, TANJUNG SELOR – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) Alberthhus Stefanus Marianus, menjelaskan tentang terbentuknya Provinsi Kaltara dengan semangat awal membangun Provinsi Kaltara dari pinggiran, khususnya untuk wilayah-wilayah perbatasan.

”Ya, seperti yang telah disampaikan atau yang di instruksikan dari Bapak Presiden Joko Widodo, terkait pembangunan daerah  perbatasan dari pinggiran untuk kita mengapresiasi segala hal,” ujar Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) Alberthhus Stefanus Marianus, melalui obrolannya di Podcast JurnalKALTARA.com.

Menurut Alberthhus, program-program strategis sesuai instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam mengimplementasikan di tingkat provinsi, kabupaten/kota tentu ada kendala-kendala yang memang suka atau tidak suka harus diselesaikan secara bersama sama.

“Sehingga permasalahan-permasalahan yang terkait dengan aksesibilitas, kemudian jaringan dan sebagainya yang merupakan representasi daripada kebutuhan dasar masyarakat perbatasan itu bisa terpenuhi dengan baik,” terang Alberthhus.

Contoh, sambungnya, khususnya melihat bahwa Interkoneksi antara wilayah-wilayah perbatasan ini sangat minim sekali, baik jaringan kemudian Komunikasi-komunikasi yang lain. Sehingga aksesibilitas jalan darat, satu-satunya yang bisa ditempuh dengan udara.

Ada sebagian yang bisa ditempuh hanya dengan menggunakan udara saja, kemudian sungai pun tidak bisa.

“Nah, dari sini kita melihat bahwa konektivitas antara wilayah dengan daerah ini perlu ditingkatkan, sehingga hal-hal menyangkut distribusi barang dan jasa yang menyangkut sembilan kebutuhan dasar, sembilan kebutuhan pokok utama itu bisa terdistribusi.”

Berbicara terkait dengan subsidi ongkos angkut itu, tegasnya, wajib hukumnya untuk wilayah perbatasan. Kedua, dari sisi wilayah pembangunan yang paling prinsip kebutuhan-kebutuhan dasar soal pendidikan, kesehatan, penerangan itu wajib hukumnya untuk di wilayah perbatasan.

“Sehingga dalam rangka untuk mengaksesibilitas perkembangan dan kemajuan tingkat pusat tingkat perkotaan,” sebut Alberthhus.

Dikatakan Alberthhus, hal-hal tertentu seperti, Jaringan-jaringan komunikasi merupakan alat aksesibilitas yang bisa memberikan satu kesempatan yang baik bagi warga perbatasan untuk bisa mengakses semua.

Ketika ditanyakan mereview kembali perjuangan awal membentuk Provinsi Kalimantan utara dengan semangat awal membutuhkan untuk membangun wilayah perbatasan. Menurut Alberthhus, hampir 10 tahun berjalan, kendala-kendala masih ada.

Artinya, keluhan- keluhan masyarakat masih muncul. Maka, idealnya agar pembatasan ini bisa terbangun dengan baik bagaimana caranya.

“Iya, ini sebenarnya kita mau tidak mau, harus duduk bersama dulu memetakan pokok permasalahan yang dihadapi wilayah perbatasan, khususnya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Minimal kita kemudian memetakan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Sehingga, jangka pendeknya itu seperti apa? Melihat kondisi, Existing yang dihadapi masyarakat pedalaman. Yang kita hadapi sekarang, contoh subsidi ongkos angkut, baik barang dan jasa itu ‘kan rutinitas kebutuhannya hampir setiap tahun,” paparnya.

Kadang-kadang subsidi itu kemudian terlambat. Karena memang proses secara administrasi juga  susah. “Ini bagaimana kita mengantisipasinya agar rutinitas berjalannya subsidi ini tetap bisa diantisipasi semaksimal mungkin untuk tidak ada terkendala apapun dalam perjalanan waktu,” tuturnya.

Ketua DPRD Alberthhus Stefanus Marianus, juga mengemukakan kalau kembali melihat bagaimana semangat daripada terbentuknya  Provinsi Kalimantan utara itu merupakan representasi bagaimana pelayanan, khususnya di wilayah perbatasan dapat bersinergi, berimbang dengan wilayah wilayah lain yang ada di Indonesia.

Minimal, kata dia, sebagai garda terdepan untuk mengejar ketertinggalan yang ada di wilayah Indonesia untuk hal -hal yang prinsip yakin, bahwa dari sisi kajian-kajianpun saat ini di perbatasan di wilayah-wilayah yang menyangkut badan-badan tertentu itu, sudah ada konsep-konsepnya.

Artinya, secara teoritis sudah dibuat juga, mungkin rencana hidup pembangunan perbatasan untuk tahun 2017 sampai 2022.

“Itu rencana induknya sudah ada. Artinya, eksekusinya seperti apa? Mungkin dari satu sisi, ya kita harus bisa menunjukkan bahwa keterbatasan dari sisi pembiayaan yang kurang lebih PAD kita,  kurang lebih masih kecil. Lalu kemudian, dari sektor apa namanya, APBD kita melihat bahwa, APBD kita di 2023 ini saja mencapai 2,9 sekian triliun tidak sampai 3  triliun,” katanya.

Alberthhus mengakui, wilayah yang dihadapi dan dilayani dengan kemampuan dari sisi keuangan memang sangat minim.

Namun dengan kondisi seperti itu, menurutnya, seharusnya kemudian mencari solusi. Terkait dengan kondisi ini, apakah ada hal-hal yang prinsip yang bisa disinergikan oleh pemerintah dalam hal badan perbatasan bersama dengan Bappeda, badan perencanaan, bank, di Provinsi Kalimantan Utara dengan 5 Kabupaten/kota untuk mensinergikan yang punya wilayah perbatasan.

“Kemudian untuk kita buat sebuah rencana jangka pendeknya seperti apa, sehingga yang menyangkut infrastruktur dasar, hal-hal yang wajib ada di wilayah perbatasan itu. Sehingga aksesibilitas kegiatan, baik menunjang kegiatan proses belajar mengajar, kemudian masalah pendidikan, kesehatan minimal itu bisa teratasi,” inginnya.

“Ya, kita memahami DPR memahami, bahwa memang dari sisi pendapatan APBD kita ini masih kecil. Namun dengan kecilnya, mari kita prioritaskan hal-hal yang betul menjadi apa konsekuensi dan tanggung-jawab kita untuk bisa kita selesaikan dengan memprioritaskan program- program yang memang merupakan program strategis itu ada di wilayah perbatasan khususnya.”

Dipaparkan, masalah subsidi ongkos angkut, pendidikan, kesehatan dan masalah penerangan atau listrik, bisa melihat bahwa representasi dari hal yang mendasar ini merupakan jaminan.

“Kenapa ini kita gaungkan tiap tahun, karena memang itu merupakan kebutuhan mutlak. Karena kalau tanpa subsidi ya, kita bisa melihat sosialitas itu. Cukup mengganggu sampai terjadinya inflasi.” jelas Alberthhus.

Inflasi yang cukup tinggi, tambahnya, salah satunya contoh. Tapi melihat harga gula sampai 30 ribu-40 ribu. Itu barang ada saja menjadi rebutan. “Sementara, barang tidak ada, itu sudah dicari setengah mati. Nah, ini juga yang menjadi semacam persoalan.”

“Bagaimana dengan stakeholder yang terkait untuk duduk bersama, kemudian membuat semacam kegiatan kegiatan yang masih terkait dengan rencana hidup untuk wilayah perbatasan itu. Minimal jangka pendeknya mampu terealisasikan kalau memang ini masih kekurangan pendanaan harus ke pusat untuk menyuarakan ini melewati Jalur-jalur yang memang sudah dibuka pemerintah pusat,” uajrnya.

Terkait persoalan itu, semua pihak berharap DPRD kepada pemerintah Provinsi Kaltara, khususnya OPD yang membidangi terkait. Disparitas atau kesenjangan pembangunan wilayah perbatasan dengan posisi Kaltara.

“Bahwa pemerintah Provinsi Kalimantan Utara selalu mengevaluasi diri juga, bahwa hadirnya Provinsi Kalimantan Utara yang baru ini, merupakan representasi daripada kepentingan wilayah perbatasan. Maka, suka atau tidak suka, kita harus mewujudkan itu dalam kegiatan disetiap tahunnya, Itu akan kelihatan dalam komposisi struktur batang tubuh daripada APBD.”

“Dengan kesungguhan hati dan kesepakatan bersama sehingga tertuang dalam APBD.  Itu nyata bahwa ada keseriusan dari pemerintah untuk kemudian meningkatkan terus dalam rangka melayani wilayah -wilayah perbatasan yang ada di tempat kita,” tutup Alberthhus.*

Sumber : Podcast Jurnal Kaltara.com

Wartawan : Selamat AL
Editor : Surya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *